Sabtu, 31 Oktober 2009

FAWATIH AL-SUWAR DALAM TAFSIR AL-MISBAH


Pendahuluan

Adalah al-Quran yang di setiap detik dibaca oleh para muslim di belahan dunia. Denyut bacaan tersebut akan selalu terlantun di bibir mereka yang haus akan keindahan bahasanya yang tak sekedar bahasa belaka. Di dalam setiap huruf, kalimat, dan ungkapan di dalamnya tersimpan sirr atau rahasia Tuhan. Oleh karenanya tak akan ada kata berhenti bagi para pencari ilmu-ilmu Tuhan untuk mengkajinya.
Bahkan dalam permulaan di setiap awal surat, ada daya tarik tersendiri yang digunakan al-Quran dalam menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Ada kalanya dimulai dengan ungkapan datar, adapula yang dimulai dengan perasaan takjub, bahkan ada surah yang diawali dengan huruf-huruf yang sulit difahami oleh sebagian kalangan. Dalam makalah berikut ini, kami akan mencoba untuk sedikit menyelami rahasia-rahasia tersebut, yakni apa yang kita sebut dengan Fawatih al-Suwar atau awal pembuka surat-surat dalam al-Quran yang dalam hal ini penulis mengacu pada sebuah kitab tafsir karya Prof. Dr. M. Qurays Shihab, Tafsir al-Misbah.






















Pembahasan

Jika kita kaji secara mendalam, al-Quran di setiap awal surat menggunakan ungkapan yang mempunyai daya tarik tersendiri. Ada kalanya sebuah seruan, pertanyaan, kalimat berita, atau bahkan kata-kata atau huruf yang sulit difahami oleh sebagian kalangan. Salah satu cabang dari ulmul Quran yang mempelajari tentang hal tersebut adalah Fawatih al –Suwar. Fawatih al-Suwar adalah tarkib idlofi yang terdiri dari mudlof (kata yang disandari) dan mudlof ilaihi (kata yang disandarkan). (فواتح) Fawatih adalah bentuk jamak dari kata (فاتح) fatihun yang berarti: yang memulai, permulaan, pembukaan, pendahuluan, atau penakluk. Sedangkan (السّوار) suwar adalah bentuk jamak dari lafadz (سورة) suratun yang berarti: fasal (dari sebuah kitab), kedudukan, keutamaan, kelebihan, kemuliaan, dan kehormatan. Namun, dalam kajian ulumul Quran, Prof. Dr Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan surah sebagai berikut:
“Surat, ialah: suatu gubahan jang terdiri dari “tiga ajat” se-kurang2nja, jang diberi namanja dengan petunjuk riwajat.”
Jadi, dari pemaparan singkat di atas, kami dapat mendefinisikan bahwa secara terminologis, fawatih al-Suwar adalah kata atau kalimat yang menjadi pembuka atau permulaan dari setiap surat dalam al-Quran. Ulama berbeda pendapat dalam mengklasifikasi fawatih al-Suwar. Al-Qasthalani misalnya menginventarisir fawatihus suwar menjadi sepuluh bagian, sedangkan Ibnu Abi al-Isba dalam karyanya al-Khaqatir al-Sawanih fi asraril fawatih hanya menyebutkan lima saja. Dalam pembahasan ini, kami mencoba mengklasifikasi dan sedikit mengungkap rahasia fawatih al-suwar dan Tafsir al-Misbah, karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, berikut penjelasannya.
Pertama, surat di awali dengan kata dasar Hamada atau al-hamdu yang berarti pujian terhadap Allah. Ustad Quraish Shihab mengutip penjelasan al-Biqa’i dalam tafsirnya bahwa “ada empat surat yang dimulai setelah basmalah dengan al-hamdulillah. Setiap surat mengisyaratkan nikmat-nikmat Allah sesuai dengan perurutannya” demukian ungkap Al-Biqa’i. keempat surat yang dimaksud adalah:

1) QS al-An’am [6]
الحمدلله الذي خلق السموت والأرض وجعل الظلمت والنور, ثمّ الذين كفروا بربّهم يعدلون
2) QS al-Kahfi [18]
الحمدلله الذي أنزل على عبده الكتب ولم يجعل له عوجاً
3) QS as-Saba’ [34]
الحمدلله الذي له ما فى السموت وما فى الأرض وله الحمد فى الأخرة وهو الحكيم الخبير

4) QS Fathir [35]

الحمدلله فاطر السموت والأرض جاعل الملئكة رسلاً أولي أجنحة مثنى وثلاث ورباع , يزيد في الخلق ما يشاء , إن الله على كلّ شيء قدير

Keempat ayat di atas ditulis oleh al-Biqa’I dalam tafsir al-Quran al-Karim dan ketika menafsirkan surat al-Fatihah. Setiap rincian nikmat dalam awal keempat surat tersebut adalah rincian seluruh nikamt Allah, dan keempat nikmat tesebut tercakup dalam kandungan lafadz al-hamdulillah dalam surat al-Fatihah. Oleh karena itulah, menurut Quraish Shihab pendapat al-biqa’i adalah sebab kenapa di dalam surat al-Fatihah lafadz al-hamdu tidak dibarengi dengan kalimat yang mengisyaratkan nikmat-nikmat tertentu sebagaimana surat yang empat di atas.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa surat yang diawali dengan kata pujian dalam al-Quran ada lima, yakni surat al-Fatihah dan keempat surat yang disebutkan di atas. Namun al-Fatihah terkesan berbeda karena basmalah pada awal surat al-Baqarah masih diperselisihkan oleh sebagian ulama apakah ia termasuk ayat dari al-fatihah atau tidak. Namun terlepas dari semua itu, ayat-ayat yang diawali dengan kata tahmid (pujian) di atas mengandung pengajaran pujian bagaimana memuji Allah, yakni dengan mengkhususkan segala macam pujian kepada-Nya.

Kedua, surat yang diawali dengan أحرف المقطّعةّ yakni huruf terpotong-potong seperti المّ dalam QS Al-Baqarah [2] dan Ali Imran [3], المّص dalam QS al-A’raf [7], الر dalam QS Yunus[10], Huud [11], dan Yusuf [12], ن dalam QS al-Qalam [68], dan lain sebagainya. Mayoritas ulama dari abad pertama hingga abad ketiga mengemukakan bahwa “Hanya Allah yang mengetahui” makna dari potongan huruf tersebut . Namun pada masa berikutnya, banyak para mufassirin (ahli tafsir) yang memberi penafsiran terhadap huruf sederhana tersebut. Diantaranya ada yang memahaminya sebagai nama surat. Atau cara yang digunakan Allah untuk menarik perhatian pendengar tentang apa yang akan dikemukakan dalam ayat berikutnya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Hasbi ash-Shiddieqy. Ada lagi yang memahami bahwa huruf-huruf yang menjadi pembuka surah-surah tersebut adalah sebuah tantangan bagi siapa saja yang meragukan al-Quran. Seakan-akan tantangan tersebut berbunyi, “Redaksi kitab suci ini terdiri dari semacam huruf-huruf tersebut, yang kamu semua juga mengetahuinya. Karena itu, cobalah buat seperti al-Quran dengan menggunakan huruf serupa. Kamu pasti tidak akan mampu baik dari segi redaksi maupun kandungannya”
Quraish Shihab juga mengutip pendapat yang tergolong baru yakni pendapat Rasyad Khalifah, menurutnya, huruf-huruf tersebut mengisyaratkan tentang huruf-huruf yang terbanyak dalam surah-surahnya. Dalam surat al-Baqarah misalnya, Alif adalah huruf terbanyak, kemudian Lam dan kemudian Mim. Begitu juga pada huruf-huruf yang lainnya, masing-masing sesuai dengan huruf yang disbut dalam awal suratnya, kecuali surah Yasin. Kedua huruf yang ada pada surah tersebut adalah huruf yang paling sedikit digunakan oleh kata-kata surah itu. Ini karena huruf (ي) Ya’ dalam susunan alphabet arab berada sesudah huruf (س) Sin, sehingga kedua huruf tersebut tidak mengisyaratkan yang paling banyak akan tetapi yang paling sedikit digunakan oleh surah tersebut. Namun menurut Quraish Shihab, pendapat dan tokoh dan tokohnya ini sangat kontroversial. Jadi butuh penelitian seksama untuk membenarkan teori ini.
Di ujung penjelasannya tentang ahruf al-Muqattah, Quraish Shihab menyatakan bahwa penafsiran “Allahu A’lamu bi muradihi” atau Allah lebih mengetahui apa yang Ia maksud, adalah jawaban yang masih “relevan” meskipun tidak memuaskan nalar akal pikiran.

Ketiga, surat yang diawali oleh ungkapan tasbih atau mensucikan Tuhan yang maha Esa dari segala sifat kekurangan. Biasanya, kata-kata yang dipakai adalah kata yang berasal dari akar kata (سبّح) sabbaha yang pada mulanya mempunyai arti menjauh. Arti lain adalah berenang, karena pada hakikatnya dengan berenang, ia menjauhi posisi yang semula. Namun “bertasbih” dalam pengertian agama adalah “menjauhkan Allah dari sifat kekurangan dan kejelekan” Misalnya dengan mengucapkan “Subhanallah” si pengucap mengakui bahwa tidak ada sifat atau perbuatan Tuhan yang kurang sempurna atau tercela. Tidak ada juga ketetapannya yang tidak adil kepada siapapun.
Dalam al-Qur’an setidaknya ada tujuh surat yang diawali dengan kata-kata tasbih, antara lain: pertama adalah QS. Al-Isra yakni surat ke [17]: 1 dengan menggunakan bentuk derifatif (سبحان). Kemudian disusul dengan surah yang menggunakan kata kerja masa lampau atau fiil madly (سبّح) Sabbaha masing-masing pada surat: al-Hadid (QS. [57]), al-Hasyr (QS. [59]), dan as-Shaff (QS. [61]), kemudian surah yang menggunakan kata kerja masa kini (يسبّح)Yusabbihu, yaitu pada awal surah al-Jumu’ah (QS. [62] ), at-Taghabun (QS. [64]), dan yang terakhir pada surah al-A’la (QS. [87]) yang menggunkan bentuk amar atau perintah سبّح اسم ربّك الأعلى.......
Selain kata (سبح) sabbaha, al-Quran juga menggunakan kata (تبارك) tabaaraka yang mempunyai arti yang sama dengan sabbaha yakni “Maha suci” . Surah yang menggunakan redaksi tersebut adalah QS. Al-Furqan [25] dan al-Mulk [57]. Namun, Quraysh Shihab membedakan antara keduanya. Menurut beliau, kata (تبارك) tabaaraka terambil dari kata (برك) Baraka yang berarti mantap, langgeng, dan juga berarti kebajikan yang banyak atau anugerah yang banyak. Jadi Quraish Shihab tidak mengartikan kata tabaaraka dengan arti “Maha suci” sebagaimana ulama-ulama lainnya, akan tetapi ia lebih suka mengartikan kata tersebut dengan “Maha banyak kebajikannya atau maha melimpah anugerahnya”.
Jika kita sependapat dengan Quraish Shihab, maka kedua surat tersebut yakni QS. Al-Furqan dan al-Mulk tidak tergolong surat yang diawali dengan tasbih akan tetapi masuk pada surat yang diawali dengan kalimat berita (khabariyah) atau bisa jadi menambah porsi macam-macam kalimat pembuka dalam al-Quran.

Keempat, surah yang diawali dengan kalimat yang mengandung panggilan atau seruan bagi umat manusia baik yang beriman maupun tidak. Berdasarkan khitab (orang yang diajak bicara) nya, ada tiga golongan yang biasa disebut dalam al-Quran. Antara lain:
a. Ditujukan pada seluruh ummat manusia dengan menggunakan redaksi “يا ايها الناس ” misalnya dalam awal QS. An-Nisa’ dan QS. Al-Hajj. Dalam kedua surah tersebut Al-Quran menggunakan kata-kata An-Naas yang berarti manusia mencakup mu’min maupn kafir, laki-laki atau perempuan, dewasa mupun anak kecil, yang ketika turunnya ayat ini berada di Mekkah atau di tempat atau waktu yang lain. Memang redaksi seperti ini seringkali digunakan al-Quran untuk masyarakat Mekkah, tetapi menurut Quraish Shihab ayat ini ditujukan untuk seluruh umat manusia agar selalu bertakwa kepada Allah.
b. Ditujukan pada orang-orang yang beriman atau mengaku beriman dengan redaksi “يا ايها الذين امنوا” seperti dalam QS. Al-Hujurat [49] dan al-Mumtahanah [60]. Ayat-ayat yang diawali dengan kata seruan seperti di atas biasanya diturunkan di Madinah kecuali beberapa ayat tertentu dan pada umumnya mengandung larangan-larangan atau anjuran yang bersifat spesifik terhadap orang-orang yang beriman atau yang mengaku beriman. Misalnya kita lihat pada ayat pertama dalam QS. Al-Hujurat yang berbunyi:
يا ايها الذين امنوا لا تقدّموا بين يدي الله ورسوله واتّقوا الله إنّ الله سميع عليم
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

Ayat tersebut mengandung pengertian larangan terhadap para sahabat untuk melangkah mendahului Allah dan Rasul-Nya. Tidak boleh menetapkan hukum atau berucap tentang sesuatu sebelum ada petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Demikian kesimpulan banyak ulama.
c. Ditujukan khusus pada Nabi dengan menggunakan redaksi "يا ايّها النبيّ" Seperti dalam QS. Al-Ahzab [33] dan QS. At-Tahrim [66]. Dalam kedua surah tersebut Nabi dipanggil dengan panggilan kemuliaan yaitu “Wahai Nabi”. Pangilan semacam itu bertujuan untuk mengajarkan umat islam agar menghormati Nabi dan tidak memanggil nama beliau seperti sesame muslim yang lain . Hal ini senada dengan QS. An-Nur [24]: 63 yang mengingatkan
لاتجعلوا دعاءَ الرسول بينكم كدعاء بعضكم بعضاً
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).
Ada kalanya surat yang diawali dengan kata seruan seperti ini merupakan teguran pada Nabi ketika Nabi melakukan semacam kesalahan seperti dalam QS. At-Tahrim [66]. Pada ayat tersebut, Allah mengingatkan agar beliau tidak mengharamkan sesuatu yang halal hanya karena ingin menyenangkan istri-isteri beliau yakni Hafsah binti Umar dan Aisyah binti Abu Bakar.
Selain memakai redaksi "يا ايّها النبيّ" ayat yang lain juga menggunakan redaksi khusus untuk Nabi seperti yang terdapat dalam QS. Al-Muzammil [73] dengan redaksi (ياايّهاالمزّملّ)dan QS. al-Mudatsir [74] dengan menggunakan redaksi (ياايّهاالمدّثّر). Disepakati oleh para ulama bahwa yang dimaksud “orang yang berselimut” dalam kedua ayat tersebut adalah Nabi Muhammad. Meskipun panggilan tersebut bisa saja tertuju pada setiap orang yang tidur malam untuk memperhatikan isi kandungan ayat ini dengan menggunkan waktu malam untuk beribadah mendekatkan diri keada Allah Swt.

Kelima, Surah yang diawali dengan kalimat berita (Khabariyah). Terkadang berita yang disampaikan adalah berita gembira bagi kaum muslimin seperti yang tergambar dalam QS. Al-Fath [48]

إنا فتحنا لك فتحاً مبيناً . ليغفر لك الله ما تقدّم من ذنبك وما تأخّر ويتمّ نعمته عليك ويهديك صراطاً مستقيماً . وينصُرك الله نصراً عزيزاً
1. Sesungguhnya kami Telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata[1393],
2. Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang Telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus,
3. Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang Kuat (banyak).

ayat ini menyampaikan berita gembira kepada kaum muslimin tentang kemenangan yang mereka peroleh setelah perjanjian Hudaibiyah dan kemenangan-kemenangan lain sesudahnya. Dalam ayat tersebut juga ditemukan uraian tentang anugerah Allah bagi Nabi Saw. beserta orang-orang yang mengikuti dan mendukung beliau dalam mengemban misinya.
Ada juga yang menghabarkan tentang sifat-sifat Allah seperti yang terdapat dalam QS. Ar-Rahman [55], khabar tentang hari kiamat dalam QS. Al-Qari’ah [101], khabar tentang turunnya al-Qura’an dalam QS. Al-Qadr [97] dan lain sebagainya.

Keenam, surat yang dibuka dengan Syarat. Misalnya dalam QS. al-Waqiah [56]
إذا وقعة الواقعة . ليس لوقعتها كاذبة
1. Apabila terjadi hari kiamat,
2. Tidak seorangpun dapat berdusta tentang kejadiannya
Juga QS. Az-Zalzalah [99].
إذا زلزلة الأرض زلزالها . وأخرجت الأرض أثقالها
1. Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat),
2. Dan bumi Telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya,
Kedua redaksi surah tersebut diawali dengan gambaran tentang kejadian dahsyatnya hari kiamat. Bahwa apabila kiamat telah tiba, maka bumi akan berguncang dengan dahsyatnya sehingga gunung-gunung dan seisinya luluh lantah dan hancur seperti debu beterbangan. Kedua Surah tersebut memberi khabar tentang kepastian terjadinya hari kiamat.
Dalam al-Quran, ada 7 surat yang diawali dengan syarat. Antara lain: QS. At-Takwir [81], QS. Al-Infithar [82], QS. Al-Insyiqaq [84], QS. Al-Waqiah [56], QS. Al-Munafiqun [63], QS. Az-Zalzalah [99], QS. An-Nashr [110].

Ketujuh, Surah yang diawali dengan sumpah (Qasam). Misalnya pada QS. Ash-Shaffat [37], adz-Dzariyat [51], serta kebanyakan surah-surah pendek yang terdapat dalam juz tiga puluh yang berada di akhir-akhir surah al-Quran. Huruf Wawu merupakan salah satu huruf qasam (huruf yang bermakna sumpah) yang seringkali digunakan dalam al-Quran. Allah bersumpah untuk mengukuhkan informasi yang biasanya ditegaskan pada ayat-ayat berikutnya. Sumpah adalah salah satu cara yang dikenal untuk mengukuhkan informasi. Contohnya dapat kita lihat dalam QS. As-Shaffat 1-5:
والصّفّات صفّاً . فالزّاجرات زجراً . فالتليت ذكراً . إنّ إلهكم لواحد . ربّ السّموت والأرض وما بينهما وربّ المشرق
1. Demi (rombongan) yang ber shaf-shaf dengan shaf yang rapi
2. Dan demi para pencegah (pelanggaran batas-batas ilahi) dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat),
3. Dan demi pembaca-pembaca dzikir( yang agung)
4. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa.
5. Tuhan langit dan bumi dan apa yang berada di antara keduanya dan Tuhan tempat-tempat terbit matahari.
Dalam ayat kesatu sampai ketiga, Allah bersumpah dengan menyebut tiga macam aktivitas makhluk yang agung untuk mengukuhkan pernyataan ayat berikutnya, yakni ayat keempat dan kelima yang menyatakan tentang keesaan Tuhan serta kekuasaannya menciptakan dan mengatur bumi dan langit beserta isinya. Contoh lain dapat kita lihat dalam QS. Al-Asr ayat pertama hingg akhir

والعصر . أنّ الإنسان لفي خسر . إلا الذين أمنوا وعملوا الصلحت وتواصوا بالحقّ وتواصوا بالصّبر
1. Demi masa.
2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Pada ayat pertama, Allah bersumpah dengan menggunakan kata (العصر) yang disepakati oleh kebanyakan ulama bahwa artinya adalah waktu. Meskipun mereka berbeda pendapat tentang waktu apa yang dimaksudkan. Namun terlepas dari itu, waktu adalah modal utama manusia. Apabila ia tidak diisi dengan sesuatu hal yang positif, maka ia akan berlalu dengan begitu saja. Oleh karena itu, waktu itu sangat penting dan tergolong hal yang istimewa.
Sedangkan ayat berikutnya adalah informasi yang ditegaskan al-Quran bahwa dalam waktu yang berputar, pada dasarnya manusia berada dalam kerugian atau celaka kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih serta saling berwasiat kebenaran dan kesabaran hati.

Kedelapan, surah yang diawali dengan kata perintah (amr) dan pertanyaan (istifham). Surah yang diawali dengan kata perintah atau amr biasanya berisi tentang tuntunan langsung dari Tuhan kepada Nabi Muhammad beserta umatnya dalam menghadapi kaum yang memungkiri kerasulan Nabi Muhammad. Seperti dalam QS. al-Jinn [72]

قل أوحي إليّ أنّه استمع نفر من الجنّ فقالوا إنّا سمعنا قرأناً عجباً . يهدي إلى الرّشد فأمنّا به ولن نشرك بربّنا أحداً. وأنّه تعلى جدّ ربّنا ما اتّخذ صاحبةً ولا ولداً .
1. Katakanlah (hai Muhammad): "Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: Telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami Telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan,
2. (yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan kami,
3. Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, dia tidak beristeri dan tidak (pula) beranak.
Ayat tersebut menunjukkan tuntunan langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad. Kata “قل” di atas menunjukkan bahwa Nabi tidak mengurangi sedikitpun dari wahyu yang beliau terima. Adakalanya tuntunan tersebut berupa bimbingan ketauhidan yang dapat kita lihat pada QS. al-Kafirun [109] dan al-Ikhlas [112] atau anjuran untuk selalu memohon perlindungan kepada Allah tidak kepada yang lainnya seperti dalam Surah al-Mu’awwidzatain [113 dan 114].
Sedangkan ayat yang diawali dengan ungkapan pertanyaan (istifham) pada umumnya tidak bermaksud untuk mencari informasi, karena Allah mengetahui segala hal. Ungkapan istifham tersebut bermaksud menggugah hati dan pikiran mitra bicara, agar memperhatikan kandungan pembicaraan berikut. Hal ini hampir sama dengan surah yang diawali dengan qasam (sumpah). Contohnya adalah QS. al-Ghasiyah [88]

هل أتك حديث الغاثية . وجوه يّومئذ خاشعة . عاملة ناصبة . تصلى ناراً نحامية . تسقى من عينٍ انية .
1. Sudah datangkah kepadamu berita (Tentang) hari pembalasan? 2. Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, 3. Bekerja keras lagi kepayahan, 4. Memasuki api yang sangat panas (neraka), 5. Diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas.
Ayat ini diawali dengan pertanyaan. Namun sebetulnya yang ditekankan adalah berita tentang betapa agung dan hebat peristiwa yang dipertanyakan yakni hari kiamat, meskipun sudah berulang-kali diuraikan dalam ayat-ayat lainnya. Hal ini sangat wajar bagi kita, karena sikap dan amal-amal kita yang bagaikan belum mendengar beritanya sehingga kita masih saja lengah dengan peristiwa besar itu.
Demikianlah penelitian kami tentang fawatihus suwar dalam Tafsir al-Misbah karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Semoga bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.




















Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, kami dapat menyimpulkan beberapa hal, antara lain:
a. Al-Quran dalam mengawali bacaannya menggunakan ungkapan-ungkapan khusus untuk menarik mitra bicara agar supaya memperhatikan isi kandungan al-Quran yang akan disampaikan.
b. Setidaknya ada delapan macam karakter yang digunakan al-Quran dalam memulai pembicaraannya. Yakni: surah yang dimulai dengan kata pujian (tahmid), tasbih, huruf al-muqattaah (huruf terpotong-potong), kata seruan atau panggilan (nida’), kalimat khabariyah (kalimat berita), Qasam (sumpah), kalimat bersyarat, serta istifham (kalimat Tanya) dan Amr (kelimat perintah).
c. M. Quraish Shihab dalam mengemukakan uraiannya amat memperhatikan arti kosa kata maupun ungkapan al-Qur’an dengan merujuk pada pandangan pakar-pakar bahasa, kemudian memperhatikan bagaimana kosa kata atau ungkapan itu digunakan.
d. Huruf al-Muqattaah adalah satu-satunya pembuka surat dalam al-Quran yang masih misterius dan yang mengetahui makna aslinya hanyalah Allah, sang pencipta alam.

















Daftar Pustaka

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya. Bandung: Penerbit Jumanatul Ali (J-ART) 2005

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah, lentera hati, Volume 1-15. Tangerang: Lentera hati., 2002
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif., 1997
Ash-Shiddieqy, T.M Hasbi, Tafsir Al-Quranul Madjid “An-Nur”, Juz I. Djakarta: Bulan Bintang., 1965
Ash-Shiddieqy, T.M Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur-an/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang., 1954
Supiana dan M. Karman, Ulmul Quran dan pengenalan metodologi Tafsir. Bandung: Pustaka Islamika,. 2002
MENCARI PASANGAN ALA ROSULULLAH

PENDAHULUAN

Keluarga sakinah merupakan dambaan setiap insan dalam cita-cita mulia untuk membangun sebuah rumah tangga. Sebuah keluarga bisa dikatakan sakinah apabila dalam keluarga tersebut terjalin hubungan yang harmonis, seperti suami bisa membahagikan istri begitu juga sebaliknya istri bisa senantiasa membahagiakan suami. Dan keduanya mampu mendidik anak yang kelak akan lahir dan besar dalam rumah tangga yang mereka bina, menjadi anak-anak yang sholih dan sholihah, yakni anak-anak yang berbakti pada kedua orang tua, agama, masyarakat, dan bangsanya
Disamping itu keluarga sakinah juga mampu menjalin persaudaraan yang harmonis dengan sanak family dan hidup rukun dalam bertetangga, bermasyarakat dan bernegara. Ketentraman seorang suami dalam membina keluarga bersama sang istri dapat tercapai apabila diantara keduaaya terdapat kerjasama timbal balik yang serasi, selaras dan seimbang.
Namun untuk mewujudkan keluarga sakinah bukan merupakan suatu hal yang mudah. Salah satu aspeknya ialah bagaimana seseorang itu bisa mendapatkan calon pasangan yang benar-benar sesuai dengan apa yang dikretiriakan oleh Al Qur’an dan Al Hadist.
Oleh karenanya dalam makalah ini, penulis mencoba untuk menghadirkan aspek –aspek tersebut, yang sekiranya dapat memungkinkan seseorang itu bisa mendapatkan jodoh yang baik sehingga dapat mewujudkan keluarga yang sakinah sebagiman yang dicita - citakan. Semua itu memerlukan kiat – kiat khusus dalam mewujudkannya, Apa saja yang perlu dipersiapkan seorang laki – laki untuk membangun sebuah keluarga, bagaimana kriteria jodoh yang sesuai, baik itu untuk laki – laki maupun perempuan berdasarkan apa yang telah diberitakan Allah didalam Al Kitab maupun kabar yang berasal dari sabda Rasul.
Semoga lewat tulisan ini kita bisa menguraikan apa yang sebenarnya harus dipenuhi dalam kriteria jodoh yang baik, sehingga pada nantinya kita bisa membangun rumah tangga yang sakinah dengan jodoh kita. Amin!


PEMBAHASAN

Alasan Tepat Dalam Memilih Pasangan

Peranan istri/wanita dalam keluarga sangatlah menentukan berhasil atau tidaknya suatu keluarga sakinah. Disamping sebagai ibu rumah tangga, Istri juga berperan sebagai pendamping suami. Sebagaimana suami, istri memiliki peranan yang penting sebagai pengendali suami atas langkah-langkah yang akan dilakukan oleh suami, Seumpama ketika suami hendak melakukan langkah yang cenderung akan berdampak negative maka disinilah istri berperan untuk mendampingi dan mengingatkan agar tidak sampai terjerumus pada hal-hal yang negative.
Oleh karena itu, sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, calon suami perlu mengenal kriteria calon istri yang baik, begitu juga sebaliknya. Agar keluarga yang akan dibina bersama nanti dapat berjalan dengan baik pula.
Beberapa kriteria calon istri yang baik sesuai dengan petunjuk Al Qur’an dan Al-Hadist antara lain adalah sebagai berikut:
     
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi (QS: An-Nisa’: 3)
Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan kita untuk memilih pasangan yang kita senangi. Lebih lanjut Rasulullah menegmukakan empat alasan seseorang sebaiknya dinikahi. Dalam sabdanya:
تُنكح المرأة لأربعٍ : لمالها , ولحسبها , ولجمالها , ولدينها , فاظفرْ بذات الدّين تربتْ يداك

“Perempuan itu dinikahi karena empat alasan, yaitu : 1) Karena hartanya, 2) Karena nasabnya, 3 ) Karena kecantikannya, Dan 4) karena agamanya. Maka pilihlah perempuan yang taat beragama, niscaya kamu akan beruntung”.
( HR. Bukhori dan Muslim)
Jika keempat alasan tersebut semuanya telah ada pada seorang gadis, tentulah ia merupakan calon istri yang amat ideal. Seorang calon istri yang kaya raya, dari keturunan yang baik-baik atau keturunan bangsawan misalnya, wajahnya cantik dan taat mengamalkan ajaran agama. Atau sebaliknya bagi perempuan, seorang perjaka kaya, memiliki nasab yang baik, tampan dan ta’at beribadah.
Dengan memahami makna yang tersirat dari hadis di atas, maka kita dapat mengambil pelajaran dalam rangka memilih pasangan yang tepat boleh karena alasan apapun, tetapi tidak boleh lepas dari alasan agama.
Dalam penjelasan di atas, kami telah memaparkan kriteria pasangan yang ideal menurut islam secara umum. Dalam pembahasan berikutnya, kami sajikan kriteria memilih calon suami maupun isteri secara spesifik yang dianjurkan oleh al-Quran maupun hadis.

A. Memilih calon isteri
a. Perempaun Shalihah
Hendaknya perempuan yang dipilih adalah perempuan yang shalihah, yakni perempuna yang kuat keberagamaannya . inilah sifat pokok yang harus menjadi perhatian pertama bagi seorang laki-laki. Perempuan shalihah digambarkan secara jelas dalam al-Quran dalam sebagai berikut:
        
Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka) (QS an-Nisa’:34)

b. Keperawanan
Ada beberapa alasan Nabi menganjurkan menikah dengan perempuan yang masih perawan. Hal ini dapat kita ketahui melalui sabdanya yang artinya:
“Hendaknya kamu menikahi perempuan yang masih gadis, karena gadis itu lebih manis tutur katanya, lebih banyak keturunannya, lebih kecil kemungkinannya berbuat makar, dan lebih bisa menerima pemberian yang sedikit”. (HR. Ibnu Majah dan al-baihaqi).
Dalam kesempatan lain, Nabi juga pernah kedatangan Jabir bin Abdillah yang baru menikah dengan seorang janda. Ketika itu Nabi bertanya kepada Jabir apakah perempuan yang ia nikahi masih perawan atau sudah menjanda. Kemuddian Rasul bersabda:

هلاّ بكراً تلاعبها وتلاعبك
“Mengapa kamu tidak mengawini seorang gadis saja supaya kamu bisa merayunya dan dia juga merayumu”. (HR. Bukhori dan Muslim)

c. Kesuburan calon isteri
Hendaknya memilih calon isteri yang subur, yakni yang memiliki kemungkinan bisa melahirkan anak yang banyak. Hal ini sesuai dengan anjuran Nabi:
خير نساءكم الولود الودود...
“Yang terbaik dari istri-istrimu adalah yang banyak memberikan anak dan sangat berkasih sayang” (HR. Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih)
Apabila belum diketahui keadaannya karena belum pernah kawin, hendaknya diamati kesehatan tubuhnya serta keremajaanya. Kedua sifat ini, pada ghalibnya, merupakan indikasi kesuburan seorang wanita.

d. Bukan keluarga dekat
Hendaknya perempuan bukan keluarga dekat, karena hal ini akan mengakibatkan melemahnya dorongan syahwat. Hal inii sesuai dengan perkataan Nabi:
لا تنكحوا القرابة القريبة , فإن الولد يًخلق ضاويا
“Janganlah kamu memilih seorang istri yang sangat dekat kekerabatannya dengan kamu, sebab adakalanya anak yang lahir kelak menjadi lemah”. Hadis ini menurut Ibnu Shalah: “Tidak dijumpai sumbernya”. Hanya dikenal sebagai ucapan Ibnu Umar.

e. Kafa’ah (sepadan)
Dalam merintis keluarga yang harmonis seseorang harus mencari pasangan yang sepadan. Baik dari segi agamanya, tingkat ekonominya, derajat social maupun intelektualnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesenjangan sosial diantara kedua pasangan tersebut. Namun yang terpenting dari semuanya adalah kerelaan dari antara keduanya, karena kerelaan dapat menjembatani perbedaan-perbedaan antara keduanya. Hal ini sesuai dengan pesan yang disampaikan al-Quran sebagai berikut:
                •   
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”

f. Perempuan yang ringan maskawinnya
Perempuan yang ringan maskawinnya juga termasuk kriteria perempuan yang dianjurkan untuk dinikahi. Ada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Abdullah bin Abbas yang berbunyi:
خير النساء أحسنهنّ وجوهاً وأرخصهنّ مهوراً

“Sebaik-baik wanita adalah yang tercantik parasnya dan termurah maharnya”. Umar r.a melarang perempuan untuk menuntut pembayaran mahar yang tinggi. Katanya:
“Tidak pernah Rasulullah kawin atau mengawinkan puteri-puterinya lebih dari empat ratus dirham”




B. Memilih calon suami

Dalam memilih calon suami, pihak perempuan juga berhak menetukan calon suaminya dengan dibantu oleh kedua orang tua serta walinya. Dan kriteria calon suami tidak jauh berbeda dengan kriteria calon isteri yang telah kami paparkan di atas. Hanya ada beberapa tambahan diantaranya:
a. Laki-laki yang bertanggung jawab
Sebagai pemimpin rumah tangga, laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada isteri. Oleh karena itu, perempuan hendaknya memilih calon suami yang penuh tanggung jawab.
b. Laki-laki yang mampu menafakahi keluarga. Rasulullah pernah memperingatkan dalam hadisnya:
من استطاع منكم الباءة فااليتزوّج
“Barang siapa yang memiliki kemampuan untuk kawin, hendaknya ia kawin” (HR. Bukhori dan Muslim).
Dalam hadis tersebut istilah kemampuan untuk kawin (al-Baa’ata) difahami sebagai kemampuan memenuhi segala kebutuhan sang isteri baik lahiriyah maupun batiniahnya.
c. Laki-laki yang mampu mendidik calon isteri dan anak-anaknya
d. Laki-laki yang bijaksana
e. Shalat istikharah dan lain sebagainya.

C. Korelasi hadis tentang mencari jodoh dengan hukum islam

Sebelum membentuk keluarga melalui upacara pernikahan dengan calon pilihan kita, Calon suami istri hendaknya memahami betul hukum berkeluarga. Dengan mengetahui dan memahami hukum berkeluarga, pasangan suami istri akan mampu menempatkan dirinya pada hukum yang benar. Apakah dirinya sudah diwajibkan oleh agama untuk menikah, baru dusunatkan, dimakruhkan atau bahkan diharamkannya
Hukum berkeluarga atau hukum menikah ada lima, Yaitu :

a. Jaiz ( Boleh )
Inilah asal hukum pernikahan, Menikah hukumnya boleh dilaksanakan dan boleh juga tidak dilaksanakan.
b. Sunnat
Seseorang disunatkan menikah apabila dirinya telah berkeinginan menikah dan telah memiliki kesiapan jasmani maupun kesiapan rohani.
c. Wajib
Seseorang diwajibkan menikah apabila dirinya telah mampu membiayai hidup berkeluarga dan dikhawatirkan akanterjerumus kedalam lembah perzinahan jika tidak disegerakan untuk menikah
d. Makruh
Menikah hukumnya makruh apabila orang tersebut belum mampu memberikan nafkah terhadap calon keluarganya.
e. Haram
Menikah hukumnya haram bagi orang yang berniat hendak menyakitiki calon pasangan hidup yang akan dinikahinya.
Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasrnya hidup berkeluarga melalui jenjang pernikahan adalah salah satu hal yang ditetapkan dalam tatanan syari’at Islam yang harus dita’ati oleh setiap umatnya, namun dalam hal ini perlu digaris bawahi hal ini adalah bagi mereka yang telah benar-benar siap baik dalam hal fisik, mental maupun finansial. Agar keluarga yang akan mereka bina nantinya bisa menjadi keluarga yang kokoh, sakinah, mawaddah dan penuh dengan rahmat.









Daftar Pustaka

1) Maushu’at al-Hadits, www.islamspirit.com
2) Al-Ghazali. Menyingkap Hakekat Perkawinan, Terj. Bandung: Karisma 1999
3) Kauma, Fuad dan Nipan, Membimbing Isteri Mendampingi suami. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
4) Al-Shabbagh, Mahmus. Tuntunan Keluarga Bahagia menurut Islam, Terj. Al-Sa’adah Al-Jawjiyyah fi Al-Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya
5) Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah, lentera hati. Tangerang: Lentera Hati
6) Yahya an-Nawawi, Abi zakariya. Riyadus-Shalihin. Beirut: Darul Fikr. 2007